Diamma.com- Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menuntut penghapusan kebijakan ekspor benur pasca tertangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo oleh KPK. Penangkapan ini terkait korupsi.
(Baca Juga: Edhy Prabowo Ditangkap KPK Terduga Korupsi Benur)
“SNI mendesak mengkaji ulang dan membatalkan Permen 12/Permen-KP/2020 yang merugikan nelayan dan rakyat Indonesia,” kata Sekjen SNI, Budi Laksana dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/11).
Budi juga beranggapan bahwa kebijakan Edhy terlalu terburu-buru. Selain itu, ia menilai perusahaan yang terkait dengan ekspor benur berafiliasi dengan partai politik.
(Baca Juga: Edhy Prabowo Tersangka Korupsi, KKP Hentikan Sementara Ekspor Benur)
“Potensi tindakan koruptif dalam proses verifikasi dan penetapan pemegang izin ekspor benur dalam waktu singkat. Perusahaan yang memperoleh izin ekspor benur di antaranya berisi orang-orang dari perusahaan yang mempunyai afiliasi dengan partai politik atau berhubungan dengan orang-orang terdekat atau sekitarnya,” ujar Budi.
Sebelumnya, Edhy mencabut aturan larangan ekspor benih lobster yang sempat disusun oleh Susi Pudjiastuti saat menjabat di Kabinet Indonesia Kerja (2014-2019).
(Baca Juga: Tertangkap KPK, Edhy Prabowo Minta Maaf kepada Jokowi)
Kebijakan ini mendapat kritikan dari Susi Pudjiasti. Ia mengungkapkan bibit lobster rentan dikuasai dan dikomersialisasikan oleh pengusaha besar dengan mempekerjakan nelayan kecil.
“Dia (nelayan) ambil bibitnya, dia perjualbelikan ke pengusaha yang punya akses untuk kirim bibit lobster ke Vietnam untuk dibesarkan. Perdagangan lintas negara kan harus lewat border, memerlukan kapal, memerlukan sarana prasarana yang tidak bisa orang kecil lakukan,” ungkap Susi saat mengkritik kebijakan menteri dari Partai Gerindra itu.
Edhy Prabowo ditangkap olek KPK di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (25/11) dini hari, penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut dikarenakan terduga korupsi atas ekspor benur.
(Baca Juga: Tetapkan Tujuh Tersangka, KPK Lepas Istri Edhy Prabowo)
Penulis: Sarah Nur Zakiah
Editor: Faradina Fauztika