Suasana sepi arus lalu lintas di Jl. Jend Sudirman, Jakarta saat PSBB. Foto: Instagram/ @rfkyw

 Diamma.com- Awal corona datang,  semua tegang.  Natuna menolak jadi tempat karantina. Corona terasa angker. Seperti wakil Izrail di muka bumi.  Yang batuk dicurigai. Jenazah ditolak. Video orang tumbang mendadak ngehits di sana-sini. Ketakutan larinya kencang, meninggalkan akal.  Semua yang sakit: sakit asam lambung, jantung, bahkan mencret, jadi suspect. Saat itu belum ada PSBB. Hanya imbauan diam di rumah. Banyak yang taat. Jalan-jalan sepi. Toko-toko tutup.  

 Suasana kini mulai berubah. Rakyat tak tahan di rumah.  Sebagian mulai nekat keluar rumah, buat cari makan. Sebagian pedagang mulai buka lapak.  Kucing-kucingan dengan Satpol PP.  Saya sempat sapa pedagang, kenapa masih buka? Jawabnya pendek: Tak ada pilihan. Kena corona bisa mati. Tidak makan juga bisa mati. Tak ada bantuan. Juga tak bisa mudik buat menenangkan pikiran. Biaya sewa toko jalan terus. Masjid tempat pelarian juga digembok. Lebih baik berjuang daripada menunggu ajal.

Sekarang corona masih angker. Tapi banyak orang udah mulai berani tempur. Ada  pedagang di pusat perbelanjaan di ibukota ngamuk. Kecewa tak bisa dagang. Sementara tak ada yang bisa kasih makan. Bedanya, kini tak lagi kucing-kucingan. Terjadi social move on  videonya viral. Ramai di grup WhatsApp. Semua penonton  tak bisa berkutik. Prihatin, sedih, dan binggung. 

Senada walau tak sama. Pebisnis kelas atas juga celeng. Makanan di kulkasnya mungkin berlimpah. Tapi pusingnya sama. Kas terkuras. Tak ada pendapatan. Para pekerjanya menuntut THR.  Jenuh kantong. Juga jenuh pikiran.  Levelnya saja yang beda.

Curhatannya didengar penguasa. Pemerintah tampak bimbang. Karena utang membengkak sedangkan pendapatan cekak.  PSBB akhirnya dilonggarkan. Juga karena tak ada pilihan. Ngotot PSBB,  opsinya kerusuhan. Apalagi jika lockdown. Sudah banyak buktinya. Kekuasaan tumbang karena perut rakyat lapar. Lockdown it’s too late.

Sekarang masih terkendali. Baik politik dan ekonomi. PSBB masih jalan. Mungkin karena puasa. Lapar karena ibadah. Rakyat masih sabar dan ikhlas.

Bagaimana setelah Lebaran? Rasanya tak berlebihan  untuk menerka: makin banyak orang ngebet keluar rumah. Hidup akan normal lagi. Maaf,  tagar #dirumahaja tak laku lagi. Ini kah yang dimaksud saatnya kita  bersahabat dengan corona? 

Selamat menjalankan ibadah puasa.

Oleh: Sarif Hidayat