Diamma – Dari Sabang sampai Marauke, hanya itu wawasan nusantara yang banyak dipahami, tanpa mengetahui wilayah apa saja yang melintasi pulau kecil di ujung Aceh dan berujung di Marauke. Hasil survei dan verifikasi terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diketahui bahwa Indonesia memiliki sekitar 13 ribu pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke. Imbasnya tindakan agresi diam-diam pengambilan wilayah RI kembali terjadi. Tidak cukup memboyong pulau Sipadan, kali ini Camar Bulan dan Tanjung Datu jadi target kekuasaan negara yang juga satu rumpun dengan Indonesia.
Setelah terlarut dalam kemegahan Hut TNI yang ke-66, keberadaan TNI pun dipertanyakan. Lemahnya kekuatan TNI di semua titik perbatasan dengan Malaysia menjadi tanda-tanya besar dalam benak kita, berapa banyak wilayah Indonesia yang mengikrarkan dirinya menjadi milik negara lain?
Berkaca dari Sipadan dan Linggitan yang telah lebih dahulu memasuki wilayah tetangga, Indonesia kini telah lebih sensitif perihal wilayah perbatasan. Pengalaman masa lalu telah berhasil membentuk pendekatan pemerintah tentang wilayah perbatasan. Kini, Indonesia sedang memperbesar penguasaan efektif. Namun, masalah wilayah perbatasan masih belum menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia. Padahal, masalah tersebut merupakan hal yang sensitif di banyak negara, tidak hanya Indonesia. Sayangnya, respon Indonesia yang berusaha “memagari” wilayah perbatasan Indonesia itulah yang pada akhirnya memicu konflik dengan negara tetangga.
Untuk mengatasi wilayah perbatasan tersebut bukanlah hal yang mudah. Satu hal pasti yang harus ada di setiap negara, terutama Indonesia, adalah hukum teritorial yang jelas. Tapi, cukupkah dengan hukum saja? Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sama pentingnya disamping hukum teritorial. Kurangnya perhatian pemerintah Indonesia ke wilayah perbatasan membuat masyarakat merasa lebih diperhatikan oleh pemerintah negara tetangga. Akibatnya, ketika terjadi sengketa perbatasan, mereka lebih memihak pemerintah tetangga yang lebih memperhatikan mereka. Karena bagaimanapun juga, loyalitas tidak bisa hanya dibangun dengan wawasan kebangsaan. Perlu ada bantuan yang nyata dari pemerintah Indonesia, seperti pembangunan fasilitas masyarakat, agar mereka merasa menjadi bagian dari Indonesia. Di sinilah hukum diperlukan. Ketika masyarakat perbatasan merasa kurang diperhatikan, ada hukum yang mengikat wilayah tersebut sehingga tidak bisa pindah ke tangan tetangga.
Mungkin pemerintah Indonesia tidak lagi menggunakan soft-diplomacy, melainkan menerapka hard-diplomacy dalam lobby kekuasaan wilayah RI. Tidak cukup membatasi wilayah dengan patokan yang hanya sekedar mirip batu nisan, dan juga bukan hanya kalimat omong-kosong. Pemerintah harus tegas mengenai masalah ini. Dalam beberapa hal, penggertakan perlu dilakukan, tapi dalam batasan-batasan tertentu. Dari 13 ribu pulau, dua diantaranya menaturalisasikan ke negara tetangga. Masihkah kita butakan mata dan tulikan telinga, sambil berkata “itu bukan urusan gue”.
(Reporter : Fadhis Abby P, Dila Putri / Foto : Google )
Editor : Hikmah Rani