Oleh: Maria Ulfa / Fotografer: Dila Putri
Saat ini berbahasa Inggris bukan saja sebagai suatu kebutuhan melainkan suatu keharusan, namun apabila dipaksakan apakah bisa menghasilkan sesuatu yang maksimal?
Diamma – Keberadaan lembaga kursus LIA yang bekerja sama dengan Universitas Prof.Dr.Moestopo mulai terjalin sejak dua tahun yang lalu. Pihak universitas memilih bekerja sama dengan LIA, dikarenakan memiliki visi yang sama dibanding dengan lembaga kursus lain. Pihak universitas memfasilitasi bagi seluruh fakultas agar mahasiswa mulai dari angkatan 2008, 2009 dan 2010 untuk mengikuti kursus bahasa Inggris LIA, minimal sampai level intermediate 4, tanpa dipunggut biaya lagi. Dengan adanya kerjasama ini, pihak kampus berharap agar para mahasiswa bisa lebih memperluas kemampuan berbahasa Inggris mereka.
Namun seiring berjalan waktu, minat mahasiswa untuk mengikuti kursus ini semakin kecil, terlihat dari rendahnya minat jumlah mahasiswa di setiap kelas pada saat pembelajaran. Berbagai anggapan muncul dari para mahasiswa tentang penerapan kursus LIA, “Adanya kursus LIA ini menimbulkan sisi positif dan negatif, sisi positif dengan adanya kursus LIA para mahasiswa yang ingin belajar bahasa Inggris jadi terbantu, tapi sisi buruknya pihak kampus sepertinya memaksakan mahasiswa,” ujar Legowo, Ketua Senat Fikom yang baru.
Banyak mahasiswa yang enggan mengikuti kursus LIA dikarenakan masalah waktu, “Sebenarnya saya kurang tertarik mengikuti kursus LIA, karena waktunya mengganggu rutinitas saya, tetapi karena ini kewajiban dari kampus jadi saya mengikuti saja,” ucap Senyra Fransiska, mahasiswi Fikom 2010. Dengan adanya permasalahan waktu, Tri sebagai AOO (Akademik Operation Officer) pihak LIA sudah memberikan dispensasi keinginan waktu, agar mahasiswa bisa memilih jadwal yang sesuai dengan keinginan masing-masing, namun kebijakan tersebut tidak memberikan suatu perkembangan yang signifikan terhadap minat mahasiswa untuk mengikuti kursus LIA. Selain itu sebagian mahasiswa beranggapan kalau cara pengajarannya kurang membawa pengaruh untuk kemampuan berbahasa Inggris mereka.
Pihak kampus juga memberikan persyaratan baru bahwa bagi mahasiswa yang ingin mengajukan skripsi harus mempunyai sertifikat kursus bahasa Inggris minimal intermediate 4. Akibat keputusan tersebut banyak mahasiswa yang tidak setuju karena dianggap menghambat kelulusan para mahasiswa. “Menurut saya tidak adil dengan keputusan itu, biar lebih adil sekalian saja semua pengajar atau dosen juga belajar bahasa Inggris demi memiliki kualitas bahasa Inggris yang sama,” ujar Fatma mahasiswi Fikom 2008. Namun menurut Drs. Soenardi DW, M.Si sebagai Warek I bidang akademis, pihak kampus sebenarnya tidak ingin mempersulit mahasiswa, tapi justru mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi kehidupan yang lebih universal nantinya, salah satunya melalui cara seperti ini. “Mahasiswa tidak perlu khawatir karena masalah ujian dan skripsi tetap menggunakan bahasa Indonesia, namun pihak kampus hanya ingin para lulusannya nanti mempunyai sertifikat intermediate 4 sebagai bekal untuk kedepannya.”
Soenardi juga menjelaskan bahwa jika ada mahasiswa yang mengikuti kursus bahasa Inggris di luar selain LIA dan sudah setara dengan intermediate 4, tetap bisa lulus asalkan mahasiswa tersebut bisa menunjukkan kemampuan bahasa Inggrisnya dengan baik serta sudah mendapat persetujuan dari pihak kampus maupun pihak LIA.
Banyak anggapan negatif terhadap diberlakukannya kegiatan kursus LIA, namun tidak semua mahasiswa beranggapan seperti itu. “Menurut saya adanya kursus LIA membantu saya untuk berbicara bahasa Inggris dengan lebih baik,” ujar Siska Oktami mahasiswi FE 2010. Tanggapan positif juga datang dari Sari Putri Widyanti mahasiswi FISIP 2010, “Saya sangat senang dengan adanya kursus LIA karena menambah pengetahuan dalam bahasa inggris pada diri saya.”
Meskipun tidak sedikit keluhan mahasiswa dengan adanya LIA, tetapi pihak kampus tetap akan memberlakukan keputusan ini. Pihak kampus berharap agar mahasiswa bisa lebih antusias mengikuti kursus LIA melebihi jumlah yang ada saat ini dan juga akan mencari solusi untuk meningkatkan minat mahasiswa mengikuti kursus LIA. “Mengapa tidak dimanfaatkan peluang seperti ini, kita bisa karena terbiasa dan saya yakin apabila ada kemauan pasti ada jalan,” ujar Soenardi sambil tersenyum. Manfaatnya memang besar, namun apakah mahasiwa tidak terbebani dengan keputusan tersebut, karena banyak kewajiban mahasiswa yang sama pentingnya.