Diamma.com –Mulanya, drg. Anastasia Susetyo, Wakil Dekan I FKG UPDM(B) dan drg. Nieske menawarkan program internship ke Korea selama tiga bulan kepada mahasiswa angkatan 2007. Dalam program ini, mahasiswa hanya perlu membiayai tiket pesawat secara pribadi, sementara fasilitas berupa tempat tinggal dan keperluan logistik selama di sana diberikan secara gratis.
Menganggapi tawaran tersebut, terdapat lima orang mahasiswa yang mendaftarkan diri, yakni CB, FP, CM, CR, dan L (inisial korban, Red). Mereka dikirim ke Dangjin beserta dua orang dokter gigi alumni yang dikirim ke Seoul, Korea Selatan pada 17 Juni 2012.
Kelima mahasiswa FKG UPDM(B) tiba di Lee Hospital pada 18 Juni 2012. Beberapa hari setelahnya, perlakuan kasar oleh Profesor Lee mulai dirasakan mahasiswa FKG UPDM(B). “Waktu awal datang ke sana, kita masih diperlakukan baik sama profesornya. Pas hari ke tiga, kita tuh di sana cuma sebagai asistensi, kita gak boleh kerja. Jadi, teman saya ada yang disuruh untuk menahan cetakan gigi palsu dan tidak boleh goyang. Tapi begitu kesenggol profesornya, dia benar-benar marah. Lalu tangan teman saya dipukul dengen keras hingga cetakan gigi tersebut jatuh,” tutur CM, seorang mahasiswa yang ikut ke Korea.
Perlakuan kasar Profesor Lee kepada mahasiswa FKG UPDM(B) ternyata tidak habis sampai di situ. Pukulan ke dahi dengan kaca mulut, melempar dengan alat kedokteran, disemprot air dari dental chair, pukulan dengan tangan yang tidak ada hentinya, hingga perkataan kasar yang dilontarkan seperti ‘stupid, piggy head, dan monkey’ pun kerap diterima para mahasiswa FKG.
Perlakuan tersebut membuat mahasiswa geram dan melaporkannya pada orangtua mereka. Tak hanya itu, mereka juga berusaha untuk melapor ke drg. Anastasia dengan mengirim pesan melalui telepon genggam hingga email, namun tidak ada tanggapan. Merasa tak nyaman, orangtua dari CB mendatangi drg. Anastasia untuk meminta konfirmasi. Ia (drg. Anastasia, Red) mengatakan bahwa para mahasiswa baik-baik saja di Korea. Pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan kenyataan yang dirasakan oleh kelima mahasiswa FKG. “Tenang saja, anak ibu juga nanti jadi pinter ko di sana. Pinter-pinter ambil hati profesornya saja,” ungkap CM perihal tanggapan yang diberikan drg. Anastasia kepada orangtua mereka.
Kelima mahasiswa pun pergi meninggalkan Lee Hospital untuk ke Seoul, menemui senior mereka dan memutuskan untuk melaporkan perlakuan tersebut ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) pada 27 Juli 2012. Saat itu, pihak KBRI mencoba menghubungi drg. Anastasia, namun yang bersangkutan tidak merespon telepon dari KBRI. Pihak KBRI kemudian meminta keterangan MoU, namun ketika dimintai pihak kampus justru memutar-mutar dan tidak dapat memberikan MoU tersebut kepada mahasiswanya.
Awal Agustus, kelima mahasiswa tiba di Jakarta dan dijemput oleh dr. Amien selaku Wakil Dekan III FKG, dan Andriansyah selaku Wakil Rektor III UPDM(B) di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Sekitar tiga bulan setelahnya, orangtua mahasiswa meminta untuk diadakan pertemuan guna mengklarifikasi terkait kasus kekerasan yang dialami anak mereka kepada drg. Anastasia. Sayangnya, respon yang diberikan kurang baik.
Lalu, pertemuan pun diadakan, dan dr. Amien menegaskan bahwa pertemuan tersebut hanya untuk dihadiri olehnya, Andriansyah selaku fasilitator, drg. Anastasia, ketua senma, ketua BPM, dan kelima mahasiswa yang berangkat ke Korea, tanpa boleh dihadiri pihak orangtua korban. Saat dimintai keterangan dalam pertemuan tersebut, drg. Anastasia terlihat sangat arogan sebagai pemimpin. “Kami tidak mendengar perkataan maaf. Saat ditanya mengapa tidak membalas sms, ia beralasan bahwa telepon genggam miliknya sedang dipegang oleh anaknya, padahal anaknya sudah SMA kelas sat. Masa tidak bisa menyampaikan isi pesannya,” tutur CM.
Sayangnya, pertemuan tersebut tidak menghasilkan apa-apa, dan masalah pun hilang begitu saja. Bahkan, terdengar bahwa program internship tersebut akan dibuka kembali bagi mahasiswa umum.
Reporter : Dewi Savitri / Foto : dok. Diamma
Editor : Erwin Tri Prasetyo