Red Star Belgrade saat menjuarai Piala Champions pada musim 1990/1991.
Foto: NYTimes

Diamma.com- Hanya ada dua klub Eropa Timur yang pernah menjadi juara Piala atau Liga Champions. Mereka adalah Steaua Bucuresti (Rumania) pada tahun 1986 dan Red Star Belgrade (Yugoslavia) lima tahun berselang.

Sekitar tahun 1987 Red Star Belgrade terus mengembangkan bakat-bakat sepakbola, memperbaiki fasilitas dilakukan sekaligus menetapkan visi dan misi untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Menjadi juara Eropa adalah tujuan mereka meski harus bertarung dengan tim keseblasan kuat lainnya.

Target ambisius benar-benar terpatri dalam benak klub, empat kali beruntun juara kompetisi domestik adalah hasilnya, pelatih kepala Ljupko Petrovic selalu menuai kemenangan dengan menerapkan taktik serangan balik yang efisien. Punggawa Red Star saat itu juga dihuni oleh pemain bintang seperti Darko Pancev, Dejan Savicevic, Sinisa Mihajlovic, dan kapten tim Stevan Stojanovic.

Tepat pada musim 1990/91, Red Star Belgrade menjadi klub yang berstatus sebagai juara Eropa, sebuah pencapaian luar biasa. Pasalnya, piala itu masih menjadi satu-satunya piala  hingga sekarang. Lawan-lawan yang dihadapi juga bukanlah tim sembarangan seperti Grasshoppers, Glasgow Rangers, dan Dynamo Dresden.

Hadangan besar baru ditemukan Red Star saat mereka sampai di semi final dan harus menghadapi raksasa dari Jerman, Bayern Munchen. Namun, secara mengejutkan saat leg pertama The Bavarians (sebutan untuk Bayern Munchen) harus takluk di kandang dengan skor tipis 1-2, pada leg ke dua partai sengit kembali terjadi, meski sudah mengantongi kemenangan di leg pertama nyatanya Red Star harus berterimakasih kepada Klaus Augenthaler yang tidak sengaja melakukan gol bunuh diri dan berkat gol tersebut Red Star berhasil mencapai final Piala Champions untuk pertama kalinya.

Olympique de Marseille adalah lawan yang dijumpai Red Star di partai final, setelah menganalis permainan lawan, Ljupko Petrovic memberi instruksi pada semua anak asuhnya untuk tampil lebih sabar dan menunggu hingga pertandingan berujung sampai babak adu pinalti. Saat berjalannya pertandingan, Red Star menaruh semua pemainnya di belakang untuk membendung segala serangan yang dilancarkan oleh Marseille, dan benar saja skor kacamata tidak berubah hingga peluit panjang ditiup.

Dalam adu pinalti semua algojo Red Star Belgrade sukses menjalankan tugas, kegagalan Manuel Amoros sebagai eksekutor pertama Marseille menjadi krusial. Akhirnya Red Star berhasil menjadi juara dengan skor akhir 5-3. San Nicola Bari 29 Mei 1991 menjadi saksi dari musim bersejarah Kota Belgrade.

Meski Red Star telah berhasil mencapai targetnya, namun Sinisa Mihajlovic tidak puas dengan kemenangan yang didapatnya, kemudian dia mengungkapkan bahwa final melawan Marseille merupakan yang paling membosankan dalam sejarah Liga Champions Eropa.

“Seandainya kami mendekati pertandingan dengan mentalitas menyerang, kami mungkin akan kalah, bukan karena Olympique [Marseille] tentu lebih baik dari kami, tapi karena pemain-pemain mereka yang terbiasa bermain di pertandingan-pertandingan besar seperti ini. Kami memiliki skuad penuh yang terdiri dari anak-anak berusia 21, 22, dan 23 tahun,” ucap Mihajlovic.

“Beberapa jam sebelum pertandingan, tujuh orang dari kami diperlihatkan rekaman pertandingan-pertandingan Olympique. Saya ingat Ljupko Petrovic mengatakan kepada kami: ‘Jika kita serang mereka, kita akan membiarkan diri kita terbuka untuk serangan balik’, dan saya bertanya ‘Jadi, apa yang akan kita lakukan?’,” tambahnya.

“Jawaban dia adalah: ‘Ketika Anda mendapatkan bola, berikan kembali kepada mereka. Jadi, kami menghabiskan 120 menit di lapangan dengan praktis tanpa menyentuh bola,” pungkasnya.

Penulis: Donny Alamsyah
Editor: Rahma Angraini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *