image1(3)Diamma.com – Persoalan pengelolaan sampah masih menjadi masalah utama di Bandung. Bahkan Bandung disebut “The City of Pigs” oleh Inna Savova, warga Bulgaria yang tinggal di Bandung (pernyataan tersebut termuat dalam venusgotgonorrhea.wordpress.com).

Dalam penanganan permasalahan tersebut, Pemkot Bandung pernah berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan metode insinerator di kawasan Gedebage, kota Bandung. Namun warga Bandung meminta agar Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, mengkaji ulang proyek PLTSa insinerator tersebut.

Aspirasi ini disampaikan beberapa lembaga seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Pengembangan Biosains dan Bio Teknologi (YPBB), Komunitas Griya Cempaka Arum, Indonesia Toxics-Free Network, Aktivis Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Generation Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum-Bandung dan peneliti lingkungan hidup.

Direktur YPBB, David Sutasurya menjelaskan, investasi untuk operasional insinerator mencapai 12 ribu USD per kilowatt. Sementera, untuk pembangkit listrik Geothermal (panas bumi) hanya 5000 USD per kilowatt, pembangkit listrik tenaga nuklir 5700 dollar per kilowatt. “Untuk tenaga Solar (matahari) dan hidro sangat murah sekitar 2000 dollar per kilowatt. Operasional Insinerator itu tinggi sekali hampir 9 dollar per megawatt sementara geothermal hanya 1 dollar per megawatt,” katanya.

Menjawab aspirasi masyarakat mengenai pengkajian ulang PLTSa insinerator, Pemkot Bandung pun berencana untuk membangun biodigester rakasasa di kawasan Pasir Impun.

Direktur PD Kebersihan Kota Bandung Deni Nurdiana menuturkan, pembangunan biodigester diharapkan bisa memangkas ritase pengiriman sampah ke TPA Sarimukti. “Sama seperti insinerator, biodigester juga akan menghasilkan gas dari sampah yang diurai untuk dikonversi menjadi tenaga listrik. Namun lebih ramah lingkungan, tidak menimbulkan asap dan bau,” Ucap Deni.

 

Reporter : Evelyn Abigail Glory / Foto : kabarkampus.com

Redaktur : Rosa Febryanty Razak

(Dikutip dari berbagai sumber)