Diamma.com – Dalam rangka memperingati 28 tahun pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Rabu (25/07/2012).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang bertempat di Jln. Latuharhari, Jakarta Pusat, menyampaikan, penyediaan layanan berkualitas untuk membantu perempuan korban mengakses keadilan dan memperoleh pemulihan, masih menjadi salah satu tantangan utama dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi perempuan Indonesia.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, jumlah kasus yang ditangani meningkat hingga emat kali lipat dalam lima tahun terakhir. Dari 25.522 kasus di tahun 2007, menjadi 119.107 kasus di tahun 2011.
Sebagian besar kasus yang di tangani itu adalah, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dimana kekeresan terjadi yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya, hal ini di katakan oleh Desti Murdijana, Wakil Ketua Komnas Perempuan di kantornya. “Jumlah kasus yang terus meningkat, dan persoalan yang dihadapi membutuhkan dukungan, baik dalam hal kebijakan maupun infrastruktur,” jelasnya.
Dalam UU. No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi, yaitu peneguhan komitmen negara Indonesia untuk memastikan warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, bekerjasama kedudukanya dihadapan hukum dan pemerintahan. Serta dalam hal pengakuan, akses, maupun penikmatan hak-hak asasinya sebagai manusia.
Tetapi hal tersebut masih berbanding jauh dengan yang dirasakan sekarang. Komnas Perempuan mencatat, ada sekitar 400 lembaga yang didirikan pemerintah dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di tingkat nasional, provinsi, dan kabutapaten/kota. Tapi itu semua belum sebanding dengan apa yang diharapkan.
Dikatakan oleh Sri Nurherawati, Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan di kantor Komnas Perempuan bahwa, ketersediaan lembaga pelayanan, untuk pengaduan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan masih sangat kurang.
Menyikapi hal ini, Komnas Perempuan mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memastikan dukungan bagi penguatan infrasturktur dan layanan, termasuk ketersediaan dana bagi lembaga masyarakat.
Tidak terlepas dari peran Komnas Perempuan, dalam menyikapi kebijakan yang di buat pemerintah seputar perlindungan terhadap hak-hak perempuan, Andy Yetriyani Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat angkat bicara soal hal ini. Ia dengan tegas mengatakan bahwa, ada beberapa kebijakan pemerintah yang harus segera diubah, termasuk revisi hukum pidana dan hukum acara pidana. Selain itu ia juga menambahakan UU perkawinan dan pengesahan UU perlindungan pekerja rumah tangga patut di revisi.
“Melalui Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang disahakan berdasarkan keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Maka sudah seharusnya peran Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), menjadi pusat koordinasi untuk memastikan layanan infratruktur yang berkualitas,” jelas Andy Yetriayani saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan.
“Hal ini sesuai dengan mandat CEDAW pasal 2 huruf f, tentang kebijkan pemerintah untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan,” tegasnya.
Reporter: Aslan La Ode
Editor: Frieska M.