Palang pintu merupakan salah satu tradisi yang kudu dipenuhi calon pengantin pria, yang disebut “tuan raja mude” untuk memasuki rumah pengantin wanita atau “ tuan putri”.
Oleh Afni / foto:blogspot
Diamma – Pagi itu, tabuhan rebana dan lantunan sahalawat membahana di salah satu gang di daerah Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sementara iringi-iringan pengantin pria mulai mendekati rumah pengantin wanita, berbagai ornament dengan berbagai warna terang khas Betawi terlihat di kanan-kiri.
Suasana memang meriah.Apalagi suara petasan renceng juga tidak ketinggalan menyalak-nyalak di pesta yang digelar keluarga Saiman yang sedang menikahkan anak gadis pertamanya itu. Dalam tradisi betawi, tanpa bunyi petasan renceng yang memekakan telinga, pesta dianggap belum afdol.
Dalam rombongan ngarak pengantin, di unit kedua ada barisan remaja pesilat berseragam membawa senjata khas Tionghoa berupa tongakat panjang yang disebut toya.
Dibalut baju pengantin warna putih mempelai pria berjalan dibarisan paling depan diapit oleh kedua orang tuanya. Namun sebelum pengantin pria memasuki kediaman pengantin wanita, dia harus melewati palang pintu yang dijaga oleh beberapa pengawal. Para penjaga pintu ini melontarkan beberapa pantun lucu yang harus dijawab oleh pengawal pengantin pria.
Sementara itu, di dalam kamar, pengantin wanita yang sudah dihias dengan sangat cantik jelita dan mengenakan warna busana yang senada dengan mempelai pria sedang berharap-harap cemas. Air mukanya dihiasi rona bahagia serta rasa gugup merajai hatinya karena sesaat lagi ia akan memasuki kehidupan baru bersama pria yang dicintainya.
Palang pintu merupakan salah satu tradisi yang kudu dipenuhi calon pengantin pria yang disebut “tuan raja mude” ketika ingin memasuki rumah pengantin wanita atau “ tuan putri”.
Ketika hendak masuk kediaman sang putrid, pihak wanita akan menghadang dengan jagoan silat yang sudah dipersiapkan untuk menghadang jagoan silat pengantin pria. Palang pintu merupakan kegiatan yang bertujuan saling mengenal antar keluarga dan maksud tujuan kedatangan. Dialog pantun dikumandangkan dengan sangat meriah dan mengundang tawa hadirin.
Selanjutnya, para jagoan calon pengantin pria harus melawan jagoan wanita dan mengalahkannya. Kalau berhasil, maka pengantin pria dipersilakan masuk menemui pengantin wanita. Para penjaga pintu mempelai wanita kemudian membuka percakapan dengan sejumlah pantun. Kemudian, perwakilan mempelai pria membalas pantun tersebut.
Setelah itu, seorang wakil pengantin perempuan menantang adu silat salah, satu orang dari pihak lelaki. Prosesi tersebut menyimbolkan upaya keras mempelai laki-laki untuk menikah dengan sang pujaan hati. Uniknya, setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.
Pesta pernikahan adat Betawi biasanya dilakukan di kediaman mempelai wanita. Pertama diawali dengan arak-arakan pengantin pria menuju ke rumah calon istri.dalam arak-arakan itu, selain iringan rebana ketimpring juga diikuti barisan sejumlah kerabat yang membawa sejumlah seserahan yang berisi beberapa macam penganan khas Betawi seperti dodol, uli, wajik dan geplak, buah-buahan terutama jeruk, apel, anggur dan pisang, sayur-mayur seperti kacang panjang dan lainnya. Pakaian dan kain, serta tak ketinggalan roti buaya yang melambangkan kesetiaan abadi, sampai perabotan kamar pengantin yang berat seperti tempat tidur dan lemari.
Di dalam rombongan, kedua orang tua calon pengantin pria pun turut serta. Selain itu ada juru bicara, qori atau pembaca Alquran, dan seorang ustadz atau guru agama. Biasanya arak-arakan dimulai dari rumah kediaman pria dengan menggunakan kendaraan lalu berhenti sekitar 100 meter dari rumah kediaman pengantin wanita dan kemudian berjalan kaki.
Adat betawi ditandai dengan serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui Mak Comblang. Dilanjutkan lamaran, pingitan, upacara siraman, prosesi potong rambut canting atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yan diapit lalu digunting. Malam mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.
Puncak adat betawi adalah akad nikah. Mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihiasi sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah serta hiasan sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit menandakan masih gadis saat menikah.
Mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, hem, jas, serta kopiah. Ditambah baju gamis berupa jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, baju gamis, selendang yang memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menandai agar rumah tangga selalu rukun dan damai.
Dekorasi ruang resepsi ditata dengan sangat apik, sederhana namun yang melihat pasti tau ia sedang berada di pernikahan orang Betawi, hal ini dapat dilihat dari berbagai warna yang dipilih untuk menghiasi ruangannya.
Tak lengkap rasanya jika pada pernikahan adat Betawi tak ada roti buaya. Symbol ciri khas dari kebudayaan Betawi. Pagi itu pun, roti buaya hadir dalam iring-iringan pengantin pria.
Untuk buaya betina, dipunggungnya dibuatkan seekor buaya kecil yang dimaksudkan sebagai anaknya. Dengan ukuran beragam, mulai dari 1 meter yang barang kali merupakan ukuran asli hewan buaya asli hingga ukuran yang sekedar sebagai pemantasan. Sepasang “buaya” tersebut di arak rombongan mempelai pria dengan 40 keranjang. Konon ini ukuran umum secara konsensus agar “layak” secara sosial dan adab ke tempat mempelai wanita pada hari pernikahan.
“Kesetiaan itu pesan khusus dari kehadiran “buaya” dalam perhelatan pernikahan adat Betawi. Tidak seperti stereotype yang salah kaprah mengorbankan buaya justru sebagai simbol playboy dan petualang cinta. Malangnya stereotype tersebut juga tak luput dialamatkan kepada etnis Betawi yang tukang kawin,” ujar Siman si empunya hajat menjelaskan tentang makna “buaya” yang selalu hadir menghiasi pernikahan orang Betawi.