Diamma.com – Menuju Pemilu 2014, aktivis dan anggota DPR diajak duduk bersama, untuk mulai menghitung-hitung resiko bernegara di bawah SBY-Boediono.

Diskusi yang bertempat di Rumah Perubahan pada (21/02) ini mendatangkan pembicara dari berbagai bidang.

Koordinator Kontras, Usman Hamid dan aktivis Papua, Antie Sulaeman didapuk untuk menyorot permasalahan yang terjadi di Indonesia, sedangkan Anggota DPR fraksi PDIP, Mayjen (pur) TB Hasanudin mengurai permasalahan dari kaca mata oposisi.

Tetapi, salah satu pembicara, aktivis lingkungan dan sumber daya alam, Marwan Batubara harus berhalangan hadir pada diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam ini.

Usman Hamid, coba mengawali berangkat dari pernyataan Presiden terbaru tentang HAM sekitar minggu lalu. Terangnya, Presiden SBY intinya hanya meminta maaf dan berjanji untuk menindak lanjuti pelanggaran HAM di Indonesia. “Seperti yang kita tahu, pola pernyataannya itu-itu saja. Dan selalu berulang kali tidak ada habisnya,” ujarnya.

Usman coba mengurai permasalahn SBY yang tidak pernah selesai dari sistem yang berlaku. Usman menjelaskan, sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial dengan multi partai.

Sistem ini memungkinkan adanya kompromi kepentingan di tubuh pemerintah. “Inilah mengapa permasalah tidak pernah selesai, karena begitu banyak kepentingan di dalam masalah-masalah di Indonesia,” ujarnya.

Usman sendiri ragu menilai kredibilitas SBY sebagai pemimpin, karena menurut Usman, SBY tidak benar-benar memimpin negara ini. Akibat banyak kepentingan yang dikompromikan.

“Bentukan koalisi yang terjadi di pemerintah sifatnya instan atau temporer. Lihat saja pemilu kemarin, baru pada putaran kedua, partai-partai berkoalisi. Itu tidak sehat. Tidak akan ada kesamaan ideologi,” tegasnya

Usman menerangkan, dampak dari berbagai kepentingan yang campur aduk itu akhirnya bisa membenturkan antar lembaga. Usman mengambil contoh dari Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional.

Rancangan ini ditolak mentah-mentah oleh pihak kepolisian, karena rancangan yang dibuat pemerintah ini saling berbenturan kewenangan antara Polri dan TNI. “Pemerintah capek-capek membuat Rancangan Undang-Undang yang sebenarnya, fungsinya sudah dijalankan oleh Polri. Akhirnya, jadi bentrok sendiri kan, padahal 2 lembaga ini harus bekerja sama dalam mengamankan negara ini,” cetusnya.

Lanjut Usman, rakyat sekarang tidak memiliki kekuatan politik yang cukup untuk melawan. “Kuncinya, ada pada partai oposisi yang memiliki kekuatan politik kepada pemerintah SBY. Partai Oposisi harus mulai bergerak,” imbuhnya.

Saat ditanyakan oleh salah seorang peserta diskusi mengenai ending dari kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, ini jawab Usman, “Dari pengalaman yang ada, seperti kasus Century, kasus Wisma Atlet contohnya, akan berujung pada lobi-lobi politik yang tidak akan pernah menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. Di sinilah partai oposisi harus bersuara,” tekannya sekali lagi tentang partai oposisi.

Usman selalu menekankan akan kehadiran partai oposisi yang kuat di pemerintahan. Ini penting menurutnya, karena kasus-kasus yang terbengkalai, seperti kasus pelanggaran HAM, tidak pernah usai karena tidak pernah ada dorongan politik di dalamnya.

“Presiden SBY harus menyiapkan senjata untuk menstabilisasi pemerintahannya,” tutup Usman. Aktivis Papua, Antie Sulaeman menjelaskan, Papua adalah contoh sempurna bagaimana pemerintahan SBY tidak pernah hadir untuk rakyatnya.

“Hampir segala bidang di Papua bermasalah. Sebut saja, dari bidang pendidikan, kesehatan, sampai politik dan keamanan. Di Papua, orang mati dibunuh, tinggal dikubur dan langsung dilupakan begitu saja,” cerita Antie.

Antie berpendapat, Rakyat Papua juga harus mulai bergerak. “Harus ada gerakan dari Timur, karena rakyat Papua yang paling disakiti hatinya oleh pemerintahan SBY,” ungkapnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR fraksi PDI-P, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, menjelaskan dari perspektifnya sebagai partai oposisi. TB Hasanuddin mengatakan, secara matematisnya, partai oposisi tidak punya pengaruh yang besar dalam kursi parlemen.

“Ambil contoh jika ingin impeachment atau pemakzulan. Dari sebanyak 500an anggota DPR, dari PDI-P hanya sekitar 90an. Dari UU yang berlaku, jika ingin melakukan pemakzulan, membutuhkan sekiranya 2/3 dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Dari situ saja sudah susah,” jelasnya.

TB Hasanuddin justru mengajak kembali rakyat untuk bergerak, agar setidaknya mindset dari orang-orang DPR dapat berubah. “Kemungkinan itu ada, jika tekanan dari rakyat nyata adanya dan dirasakan oleh partai-partai politik lainnya,” tegasnya.

TB Hasanuddin berujar, PDI-P sendiri mengikuti apa kemauan dari rakyatnya. “PDI-P harus cerdik dalam menyikapinya. Di tempat ini, mungkin banyak orang menggebu-gebu, tetapi belum tentu jutaan rakyat Indonesia lainnya juga menggebu-gebu,” ucapnya.

“Sehingga semuanya kembali pada rakyat Indonesia untuk bergerak bersama agar ada perubahan di tahun ini. Tidak menunggu Pemilu 2014,” terangnya.

Reporter : Rionaldo herwendo

Editor : Frieska M.