Puluhan tahun Republik Indonesia melakukan kerjasama dengan Negara asing diluar masa penjajahan, tentunya sudah banyak pula yang telah dilakukan dalam kerjasama tersebut. Khususnya dibidang ekonomi, merujuk kedalam RUU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967.
Oleh Frieska Maulidiyah, Hikmah Rani / Foto: Frieska Maulidiyah
Diamma – Jika kita lihat, hal tersebut adalah pintu pertama investasi asing termasuk AS masuk kedalam bangsa Indonesia, “RUU tersebut sebenarnya sudah bertentangan dengan amanat pasal 33 UUD 1945 mengatakan aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan tidak dapat dikuasai oleh asing,” tukas Usmar Ismail, S.E, M.M.
Namun, Indonesia sendiri masih tergantung dengan investor asing, Lantas apakah yang dikerjakan dalam hubungan bilateral ini telah membuahkan hasil, serta pengaruh positif yang cukup signifikan bagi bangsa kita sekarang? Melihat permasalahan ekonomi di Indonesia masih jauh dari titik terang penyelesaian.
“Pengaruh bagi bangsa kita bekerjasama dengan AS, ada untung dan rugi. Untungnya, posisi Indonesia di mata International menjadi meningkat & menguat atas kerjasama ini, khususnya di ASEAN dengan masuknya Indonesia di G20. Rugi, karena AS menanamkan investasi yang besar, kerjasama ekonomi RI-AS dengan pinjaman LN, dan AS dengan mudah mendikte kebijakan setelah kita buat untuk privatisasi BUMN yang sifatnya strategis, dimana BUMN tersebut dibeli oleh para kapitalis AS sehingga sangat menguntungkan pihak mereka baik di bidang ekonomi maupun politik,” jelas Wulan mahasiswi FISIP UPDM (B).
Dan marak pula isu kedatangan obama sebelumnya yang mengusung tiga isu, sebagai agenda utama yang diusung dalam kunjungan Obama ke Indonesia, yaitu mendesak Indonesia memperbaiki iklim investasi, peningkatan kerjasama perdagangan Amerika-Indonesia, dan menawarkan forum kerjasama perdagangan regional Asia-Pasific. Terlepas dari hal tersebut, maka sudah seharusnya Indonesia memperhitungkan besaran untung-rugi kerjasama di bidang ekonomi dengan Amerika Serikat yang sudah terjalin selama ini.
keinginan kita semua adalah berdiri sendiri membangun perekonomian bangsa, membangun dengan cara kita, dengan tidak membebaskan apa saja yang kita punya untuk dikelola oleh pihak asing (AS-red). Setelah disahkannya lagi RUU PMA yang baru tahun 2007, kenyataannya lebih buruk dari UU sebelumnya yang terkesan lebih memberikan ‘kekuasaan bekerja’ kepada mereka. “Menurut saya dengan menjalankan UU tersebut cukup merugikan karena AS seolah-olah ingin menguasai SDA kita seperti minyak, gas, emas, uranium, dll, dan timbal balik yang kita peroleh tidaklah sebanding dengan modal kekayaan alam yang kita punya” tutur Arif mahasiswa FE UPDM (B).
“Masalahnya adalah paradigma politik pemerintahan kita menganut paham Neoliberalisme yang tunduk kepada Consensus Washington” tegas Dosen FE UPDM (B). Konsensus yang terdiri atas 10 elemen yang bisa dirangkum menjadi tiga pilar, yakni (1) disiplin anggaran pemerintah (fiscal austerity atau fiscal disipline), (2) liberalisasi pasar (market liberalization), dan (3) privatisasi BUMN, (Stiglitz 2002:53).
Permasalahan akan terus memayungi bangsa kita, lalu bagaimana solusinya, “kita tidak perlu memutuskan kerjasama ini, tapi bukan berarti kita juga sepakat pada kebijakannya, yang selama ini kita harapkan adalah kita dapat berdiri sederajat dengan Negara yang kita ajak untuk bekerjasama, bukan malah didikte oleh kebijakan mereka, sementara kita masih punya kebijakan sendiri yang harus direalisasikan” jelas Pria berumur 43 tahun ini. “Seperti halnya China yang membuka kerjasama dengan Negara lain, tetapi tetap menjalankan komitmen mereka dan aturan yang sudah disepakati” sambung Kabag Kemahasiswaan UPDM (B).