Ilustrasi Media Sosial.
Foto: Pixabay

Diamma.com Pakar keamanan siber, Dr. Pratama Persada mendukung Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada Senin (15/2)  lalu, dia meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU ITE.

Sejak kemunculan UU ITE sering kali menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa isi dari undang-undang tersebut dianggap membatasi kebebasan masyarakat dalam bersuara di jagat maya. Pratama mendukung sikap Presiden Joko Widodo untuk merevisi ‘pasal karet’ yang terdapat di dalam UU ITE.

“UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak. Tentunya kepolisian juga mendapatkan tekanan dari masyarakat, karena masing-masing pihak ingin laporannya dan pihak terlapor segera di proses,” jelas chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.

Disinggung juga maraknya kasus hoax, yang malah ditangkap yaitu pihak penyebarnya saja. Dalam artian mereka selaku penyebar juga menjadi korban yang terhasut dan tidak tahu konten yang disebarkan itu berita bohong.

“Kita ingin UU ITE ini mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual. Ada masyarakat yang jadi tersangka karena menyebarkan. Namun ini kan sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar. Inilah salah satu ketakutan masyarakat,” terangnya.

Dalam press release Pratama juga menegaskan pengedukasian anti hoax di masyarakat masih kurang dan kesannya masyarakat ini diancam akan dikasuskan tapi dari pihak pemerintah juga tidak ada pembekalan edukasi mengenai berita bohong tersebut.

Edukasi dinilai sangat berperan penting untuk mengatasi hal ini, resiko konten hoaks yang akan terus menyebar pasti terjadi. Masyarakat butuh pendekatan secara kultural, tidak sekadar hanya pendekatan hukum yang dipertajam.

Ketegasan revisi UU ITE harus fokus pada pemidanaan para penyebar konten yang menjadi satu kelompok dengan aktor intelektual ataupun konten kreatornya. Sebagaimana masyarakat yang mendapat konten hoax ini dan menyebar ulang tidak menjadi korban pemidanaan.

“Bukan berarti pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoax bisa bebas tanpa hukuman. Ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di KUHP yang bisa digunakan. Tindakannya sama, hanya ini dilakukan di wilayah siber,” jelas Pratama.

“Memang sebaik apapun UU dan regulasi yang ada, tetap kemampuan aparat, jaksa dan hakim adalah yang paling menentukan dalam proses keadilan ditanah air. Namun itikad baik Presiden ini sebaiknya didukung seluruh elemen masyarakat agar segera di eksekusi DPR. Kita tunggu saja, semoga pemerintah segera mengajukan revisi pada pasal-pasal UU ITE yang sudah ada,” pungkasnya.

Penulis: Nafis Arsaputra
Editor: Donny Alamsyah