(Dari kiri) Nasrullah, salah satu dosen Fikom UPDM (B) danProf. Dr. Haryono Suyono, M.A. Ph.D. saat ditemui di Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan. Foto: Diamma.com/Rahma Angraini

Diamma.com- Siapa yang tak mengenal Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), sebuah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat dengan dibantu oleh petugas kesehatan. Posyandu merupakan salah satu Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM), dalam memberikan kemudahan bagi ibu, bayi, dan anak balita guna mendapatkan pelayanan kesehatan. 

Posyandu berdiri atas gagasan dari Prof. Dr. Haryono Suyono, M.A. Ph.D., seorang lulusan Ilmu Komunikasi yang berhasil menangani lonjakan kelahiran pada masa Presiden Soeharto. Sebelumnya, ia telah berhasil mewujudkan program Keluarga Berencana. Meskipun bukan lulusan kedokteran, pendekatan kepada masyarakat melalui komunikasi inilah yang membuatnya berhasil menyukseskan program kerja tersebut.

Berkat inovasinya, ia yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) mendapatkan penghargaan oleh Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) pada momen Seminar 75 Tahun Indonesia Merdeka: Kontribusi Diaspora Indonesia Dalam Konteks Kesehatan Global pada 22 Agustus 2020. Ia mendapatkan penghargaan tersebut karena berhasil mendirikan inovasi, yaitu Posyandu.

Saat ditemui Diamma, Haryono menceritakan langsung bagaimana berdirinya Posyandu, semua berawal dari Suwardjono Surjaningrat, Menteri Kesehatan saat itu yang ingin membuat pos kesehatan desa. Jika itu terlaksana, para bidan yang ada di setiap pos KB desa harus dimutasi ke pos kesehatan yang diwacanakan Kementerian Kesehatan. Sayangnya, ide itu dinilai dapat mengakibatkan pos KB ‘mati’ satu demi satu.

Haryono yang saat itu menjabat sebagai Kepala BKKBN pada tahun 1983, membujuk Suwardjono agar mengurungkan niatnya membentuk pos kesehatan yang harus dirintis dari nol. Sebagai gantinya Haryono menyarankan lebih baik mengganti pos KB menjadi pos pelayanan terpadu yang melayani lebih banyak bidang kesehatan seperti, program KB, kesehatan ibu dan anak (KIA), peningkatan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare.

Mendengar saran tersebut, Suwardjono langsung menyetujui apa yang diusulkan oleh Haryono dan langsung menanyakan apakah BKKBN bersedia ‘menyerahkan’ pos KB juga menjadi pos kesehatan.

“Saat Pak Suharjono mengiyakan, kami langsung membuat MoU (perjanjian) antara BKKBN dan Menteri Kesehatan. Bertepatan dengan ulang tahun BKKBN lahirlah Pos Pelayanan Terpadu. Kita bikin mendadak, jadi papan pos KB desa kita ganti menjadi Posyandu,” imbuh Haryono.

Seiring berjalannya waktu, Posyandu pun terus berkembang di desa-desa. Hingga di tahun 1993-1997, Soeharto mengadakan pengentasan kemiskinan dan membagi menjadi dua desa yang dinamakan IDT (Inpres Desa Tertinggal). Sekitar 20.000 desatermasuk dalam kategori tertinggal telah ditangani oleh Menteri Ginanjar Hartasasmita. Sementara, 40.000 lainnya yang dianggap bukan desa tertinggal belum ada yang menangani.

Oleh karena itu, Haryono pun mengajukan diri untuk menangani desa tersebut. Hal ini juga dikarenakan stafnya yang menyarankan kepada dirinya untuk menangani hal tersebut.

“Staf saya mengatakan kepada saya bahwa ada 40.000 desa yang meskipun tidak tertinggal, tetapi penduduknya banyak dan jumlah penduduk miskin lebih banyak dari yang 20.000 desa,” ungkapnya.

“Maka dari itu, saya masuk ke Pak Harto. Saya mengatakan bahwa BKKBN siap untuk membantu menangani 40.000 desa. Ada Inpres Keluarga. Akhirnya saya kebagian 40.000 ribu desa itu dan kami lakukan dengan model lelang kepedulian, keluarga angkat, dan lainnya,” lanjutnya.

Berkat Posyandu, angka kemiskinan di tahun 1990 turun menjadi 11 persen. Tidak berhenti sampai di situ, Posyandu juga membawa angka kemiskinan di tahun 1997 menurun hingga 30 persen. Namun, ia merasa kecewa ketika setelah tahun 1997-2015 menurunnya angka kemiskinan hanya mnecapai 9,9 persen.

(Baca Juga: Haryono Suyono dan Gebrakannya Terhadap Program Keluarga Berencana Melalui Komunikasi)

“Setelah tahun 97-2015 turun lagi menjadi 9,9 persen. Jadi hanya turun 1 poin. Padahal keluar dengan dana desa dan sebagainya tapi turunya hanya satu poin. Karena tidak pakai lagi road map itu padahal saya sudah berjuang di dalam kementerian desa,” tutupnya.

Penulis: Donny Alamsyah
Editor: Rahma Angraini