Lanjutan dari artikel “Mengapa Mereka Tidak Boleh Menang”
Diamma.com – Dahulu, sebelum masehi, Socrates harus meminum racun dan mati karena dia mencari kebenaran dalam hidupnya. Sekarang, di Indonesia, seorang aktivis harus mati diracun karena dia mencari keadilan di negeri tercintanya. 2 kisah berbeda zaman, 1 cita-citanya untuk sesuatu yang dicintainya.
“Begini ya, saya jelaskan lagi, yang kaya jadi semakin kaya, yang miskin, jadi semakin miskin. Sudah mengerti kan?” tanya Munir kepada para buruh sambil menulis di papan tulis seperti yang ditayangkan video documenter Kanan Hijau Kiri Merah yang diberikan teman saya lalu.
Di video itu, Munir seperti seorang guru yang sedang mengajar muridnya. Bedanya, dia tidak digaji oleh murid yang diajarnya. Dia tidak mendapatkan apa-apa dari muridnya. Tetapi, saya melihat di matanya ada keyakinan apa yang dilakukannya benar.
Membaca sepak terjangnya di dunia LSM, terutama di dunia yang menurut saya paling beringas, dunia hukum, saya hampir tidak percaya seseorang seperti Munir pernah hidup di negeri ini. Merasakan tirani Orde Baru dan kebebasan di reformasi, semakin mengukuhkan pengabdiannya pada masyarakat yang tidak mengenal waktu. Bagi saya, dia seperti cerita dongeng yang menjadi kenyataan.
Apakah kita pernah membayangkan orang-orang yang kita cintai tiba-tiba menghilang begitu saja selamanya seperti ditelan bumi, dan diketahui ternyata mereka telah diculik? Setelah saya menonton video documenter itu, sebentar saya coba merenungkan keadaan itu.
Kita bingung, cemas, dan sedih. Kepada siapa kita mengadu, jika penculiknya berasal dari salah satu instansi yang kuat pada masa itu? Berdiri di sana, di ruang pengadilan yang dingin menusuk, seorang pria dengan tinggi tubuh sekitar 160 cm, tanpa takut berhadapan dengan para hiu-hiu ganas di dunia hukum, membela dan melindungi hak-hak kita yang telah dilanggar.
Saya tidak mengenal dia, dia tidak mengenal saya. Tapi sekalipun dia tidak pernah goyah untuk melindungi kita di barisan paling depan dalam armada yang mencari keadilan di negeri Indonesia ku ini.
Itulah sebabnya mereka, orang-orang yang ingin memberikan mimpi buruk pada cerita indah Munir ini, tidak bisa kita biarkan menang. Mereka telah melakukan kesalahan besar. Kematian Munir, bagi saya bukanlah mimpi buruk, tetapi kisah heroic yang luar biasa. Kisah membanggakan yang akan saya teruskan ke anak-cucu saya kelak. Jika presiden kita mengatakan, ini adalah a test of our history, saya ingin mengatakan sejarah dan kisah ini telah melampaui masanya. Juga, telah melintasi berbagai Negara sampai namanya terukir menjadi nama sebuah jalan di Belanda.
10-20 tahun mendatang, ini bukan soal siapa pembunuhnya, tetapi soal apa yang tidak boleh mereka bunuh dalam kisah ini. Saya setuju untuk menolak lupa kasus keji atas HAM ini, tapi saya lebih setuju untuk menolak lupa kisah seorang pria keturunan Arab yang tanpa memandang latar belakang atau golongan orang-orang tertindas untuk dibela hak-haknya sampai harus menenggak pahitnya racun yang merenggut nyawanya atas tindakannya. Ini yang tidak boleh mati, atau seperti yang disenandungkan oleh band Efek Rumah Kaca, “Tapi aku tak pernah mati, tak akan berhenti.”
Temanku, anakku, saya beritahukan sesuatu: Mereka belum menang.” Burung-burung” mengicaukan namanya, “tembok-tembok” menggambarkan sosoknya. Kisahnya telah menembus ruang dan waktu. Hak Asasi Manusia di Indonesia menjadi lebih mulia semenjak kepergiannya.
Dia telah mengenalkan saya akan kehidupan aktivis yang penuh keberanian, pengabdian, dan totalitas yang tinggi. Kehidupan yang saya kira hanya ada di cerita fiktif. Sekarang, tugas kita yakni untuk meyakinkan bangsa ini, tidak mustahil Munir selanjutnya dapat lahir kembali di antara kita. Mereka menang, pada saat kita menyumbal telinga, memakai kacamata kuda dan ditunggangi oleh para pihak yang membenci keadilan, dipecut untuk meninggalkan cita-citanya yang luhur.
Oleh: Rionaldo herwendo
Editor: Frieska M.