Aku sering diancam jika teror mencekam. Kerap ku disingkirkan sampai di mana kapan. Kubisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa dibunuh di trotoar jalan
Diamma.com – “Ini lagu tentang Munir,” jawab teman saya memberitahukan arti dari sepenggal lirik lagu di atas. Lagu yang ditulis oleh band Efek Rumah Kaca ini menjadi awal perkenalan saya dengan sosok Munir. Saat saya mendengar nama Munir, terdengar familiar tapi sama sekali buta akan informasi mengenai dirinya. Lalu teman saya melanjutkan, “ Dia aktivis yang dibunuh itu” dan perkenalan saya dengan Munir berhenti sampai “aktivis yang dibunuh”. Lalu, saya tidak pernah mengenalnya lebih dalam lagi. Perkenalan singkat di tahun 2007.
5 tahun kemudian, perlahan, namanya mulai terdengar kembali saya saat duduk di bangku kuliah. Namanya sering disebut, entah saat obrolan ringan dengan teman atau perbincangan semalam suntuk di kampus. Tapi jarang sekali dijadikan topik pembicaraan. Dia hanya seperti selingan saja saat mengobrol. Dia menjadi sesosok orang yang menurut saya “cukup tahu” saja. Sampai suatu ketika, beberapa hari yang lalu seorang teman memberikan sebuah tautan situs video di halaman sosial media saya. Dan ternyata, saya belum cukup tahu akan sosok Munir ini.
Singkat cerita, video dokumenter ini mengenalkan saya kembali dengan Munir. Perkenalan kali ini lebih intim menurut saya. Karena saya dapat melihat Munir yang masih polos memakai seragam SD sampai dia dilantik menjadi Ketua Senat Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya sangat mengenal dia, tetapi setidaknya saya dapat mengenal seorang Munir Said Thalib dengan cukup utuh.
Tepat tanggal 7 September kemarin, saya mendapat BBM (Blackberry Messenger) dari seorang teman, redaktur pelaksana di lembaga pers mahasiswa tempat saya bernaung. Dia meminta tolong saya untuk menulis tentang Munir dalam rangka 8 tahun kepergian aktivis HAM ini. Entah kenapa, saya merasa semuanya berjalan dengan tepat sekali. Saya baru saja menonton video tentang dirinya, lalu dimintai untuk menulis. Saya merasa harus menulisnya.
Menginjak di tahun kedelapan, kasus pembunuhan Munir belum juga menemukan ujungnya, seperti halnya bentuk angka delapan. Memang benar, salah seorang pelakunya sudah dijatuhi hukuman. Tetapi kita semua tahu, yang menginginkan pahlawan HAM ini untuk mati bukanlah hanya satu pilot seorang.
Kenyataan bahwa seseorang yang membela hak-hak kaum yang tertindas justru dibunuh dan pelaku sebenarnya belum ditangkap, memberikan pesan: Jangan mencoba berbuat baik atau akan dibunuh. Akan tetapi, saya akan membalasnya dalam tulisan ini: Mereka belum menang dan tidak boleh menang.
Kenapa saya dapat mengatakan seperti itu? Pembunuhan yang terjadi di udara itu bagi saya memiliki makna sendiri secara simbolis. Mereka, siapa pun itu, tidak hanya ingin mematikan raga, perjuangan dan pencapaian Munir, tetapi juga harapan, kisah dan pemikirannya kepada negeri ini. Mereka, siapa pun itu, bahkan tidak ingin ada Munir-munir selanjutnya. Siapa pun mereka, tidak akan berhenti sampai Munir saja.
Bersambung di Menolak Lupa Kasus Munir.
Oleh: Rionaldo Herwendo
Editor: Frieska M.