Diamma.com – Selama ini Jaksa Agung dalam hal memberi deponeering memang meminta masukan atau usul dari berbagai pihak seperti Presiden, ketua MA dan Komisi III DPR. “Maka jika Pasal 35 ayat (1) huruf d yang mengatur deponeering disahkan, itu berarti kan menghambat kinerja Kejaksaan dalam pelaksanaan deponeering,” kecam Agung.
Selain penolakan MaPPI-FHUI terhadap rencana intervensi eksekutif dan legislatif yang tertuang dalam RUU kejaksaan, MaPPI –FHUI juga menolak pengaturan komisi kejaksaan digabung dalam RUU kejaksaan.
Penolakan MaPPI karena sebaiknya Komisi Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang tersendiri, selain itu dalam RUU kejaksaan ini Komisi Kejaksaan akan diperbolehkan melakukan penyadapan. “Mengenai kewenangan penyadapan Komisi Kejaksaan, kami menolak karena komisi kejaksaan bukan lembaga pro justitia,” ujar Choky.
Selain itu, penolakan dari MaPPI terhadap pengaturan Komisi kejaksaan adalah Komisi Kejaksaan diikut sertakan dalam rekruitmen dan promosi Jaksa. “Hal itu perlu ditinjau ulang, dengan melihat kesiapan Komisi Kejaksaan yang sekarang,” sambung Choky.
Selain penolakan, ada juga keinginan MaPPI dalam penghapusan keorganisasian Jaksa Muda Bidang Intelijen (JAMINTEL). Karena menurut MaPPI, tugas intellijen adalah tugas dari Polri dan lembaga lain, dan intelijen kejaksaan hanyalah supporting unit bukan tugas utama kejaksaan.
Selain meminta penghapusan JAMINTEL, MaPPI-FHUI juga mendesak agar Jaksa Muda bidang Perdata dan Tata Usaha (JAMDATUN) dihapus, karena tugas Jamdatun adalah mewakili negara dalam beracara perdata yang biasa disebut Jaksa pengacara Negara.
”Kenapa kami meminta peniadaan Jamdatun? Karena ada conflict of interest dengan tugas penuntut, mana mungkin Jaksa merangkap sebagai pengacara.” Ujar Choky.
MaPPI pun memberi solusi, yaitu pemisahan kewenangan antara jaksa dan pengacara atau adanya sertifikasi untuk menjadi seorang Jaksa Pengacara Negara. ”Hal itu dilakukan untuk menciptakan Jaksa Pengacara Negara yang professional ” imbuh Choky.
MaPPI pun menyoroti tentang ketentuan Pidana dan larangan dalam RUU kejaksaan, hal tersebut memunculkan daftar pengaturan yang tumpang tindih, karena dalam RUU Kejaksaan pasal pidana terdapat pada Pasal 37L sampai Pasal 37P, sedangkan larangan terdapat pada Pasal 37J.
Ketentuan tersebut menurut MaPPI adalah bentuk kriminalisasi dari sejumlah larangan yang ada. Dalam kode etik Jaksa yang terdapat pada Peraturan Jaksa nomor PER-067/A/JA/07/2007.
“Selain itu, ketika kami teleti dan telaah lebih dalam, ancaman bagi jaksa yang melanggar kewenangan dan penyelewengan jabatan menjadi lebih ringan dibanding Pasal 3 UU TIPIKOR,” ujar Gugum kepala bidang riset MaPPI.
Dalam Pasal 3 UU TIPIKOR, ancaman bagi jaksa nakal adalah pidana maksimal 20 tahun dan denda 1 Miliar. Sedangkan dalam RUU Kejaksaan, ancaman maksimalnya adalah 5 tahun pidana dan denda hanya 250 juta. “MaPPi mengusulkan ketentuan pidana dan larangan itu dihapus saja karena hanya duplikasi dan over criminalization” Tutur Choky.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) mendesak pembatalan atau setidaknya ada perubahan pada Rancangan Undang-Undang Kejaksaan, MaPPI merasa banyak kejanggalan pada RUU Kejaksaan ini, menurut Choky Risda Ramadhan Koordinator MaPPI.
“Banyak kejanggalan pada Rancangan tersebut, seperti duplikasi isi Pasal 37A sampai Pasal 37P dalam RUU Kejaksaan itu menduplikasi UU Komisi Yudisial.” Masih menurut Choky, beberapa pasal bahkan diduplikasi tanpa ada perubahan kata-kata.
Choky menambahkan, saat ini DPR seakan-akan ingin cepat-cepat meyelesaikan Rancangan Undan-Undang tersebut menjadi Undang-Undang, sehingga dalam penyusunan RUUnya pun hanya menduplikasi dari Undang –Undang yang sudah ada. Penduplikasian Undang-Undang ini tentu membuat sistem peradilan menjadi bahan main-main.
Reporter: Bagus Prayogo
Editor: Frieska M.