Diamma.com – “Larangan kepada pers adalah pelanggaran HAM,” ucap Wina Armada, anggota Dewan Pers yang juga moderator, membuka diskusi membedah rancangan tata tertib peliputan pers DPR.
Diskusi ini mendatangkan wartawan senior Antara, Priyambodo, anggota DPR komisi II, Ramadhan Pohan, dan Wakil Ketua Dewan Pers, Bambang Harymurti.
Terlihat juga banyak wartawan senior menghadiri diskusi pembedahan rancangan tata tertib peliputan pers parlemen.
Para wartawan senior dan anggota DPR sengaja dikumpulkan oleh Dewan Pers untuk membicarakan rancangan awal tata tertib peliputan pers parlemen.
Diskusi yang dimulai pukul 14.00 WIB ini mencoba mengambil dari berbagai perspektif, seperti Priyambodo, membandingkan rancangan peraturan ini dengan peraturan pers parlemen di Eropa, tempatnya dulu dia bekerja.
Ramadhan Pohan turut datang mengingat dia pernah menjadi wartawan yang bekerja di Amerika dan sekarang menjadi anggota DPR.
Sedangkan Bambang Harymurti datang untuk menjelaskan maksud dari rancangan peraturan yang berisi 40 pasal ini, karena dia juga hadir saat membuat rancangan peraturan yang membuat cemas para wartawan yang biasa meliput di DPR.
Priyambodo mengawali diskusi ini dengan membandingkan rancangan peraturan pers ini dengan peraturan yang berlaku di Eropa.
“Jika anda membaca, tertulis bahwa milik Eropa itu bukan peraturan, tetapi hanya aturan akreditasi. Sedangkan, yang dibuat DPR, itu adalah peraturan. Kata ‘peraturan’ ini yang menakutkan teman-teman wartawan,” jelas Priyambodo.
Sebelumnya, para peserta diskusi diberikan foto kopi dari 2 peraturan ini. Peraturan yang dibuat DPR tertulis “Rancangan peraturan tata tertib peliputan pers pada kegiatan DPR RI”, pada milik Eropa yang dibawa Priyambodo, tertulis, “Rules For Press Accreditation to the European Parliament”.
“Yang penting akreditasinya. Mereka (Eropa) tidak mengatur cara kerja wartawannya, tetapi protokol yang harus dipenuhi untuk menjadi wartawan parlemen,” tegasnya.
Lanjut Priyambodo, parlemen atau DPR tidak perlu mengatur kinerja wartawannya, tetapi perusahaan persnya. “Jadi, DPR langsung berhubungan dengan perusahaan pers.
Prosedurnya jelas. Sehingga tidak bermunculan wartawan ‘abal-abal’,” ceritanya. Keluhnya, seakan-akan peraturan ini mengatur ruang peliputan pers di DPR, padahal masalahnya adalah bagaimana mengatasi wartawan ‘abal-abal’ ini.
Rancangan ini sendiri muncul karena pernyataan Ketua DPR RI, Marzuki Alie, yang mengeluhkan banyaknya wartawan ‘tidak jelas’ di DPR yang kiranya bisa merusak pemberitaan DPR.
Sampai akhirnya dibuatlah rancangan peraturan peliputan pers ini oleh Sekretariat Jenderal dan Badan Urusan rumah Tangga DPR. Rancangan peraturan ini coba dibedah oleh Dewan Pers dan para pembicara agar tidak membatasi kebebasan pers.
Setelah Priyambodo, lanjut Ramadhan Pohan mencoba membahas rancangan ini. Mantan wartawan Jawa Pos ini lebih menitikberatkan pada beberapa pasal yang menurutnya tidak perlu ditulis.
Pasal-pasalnya seperti membahas gaji wartawan dan perilaku peliputan pers. “Pasal-pasal seperti ini tidak perlu dicantumkan. Kan sudah ada di Undang-undang Pers juga. jangan sampai berbenturan,” tegas Ramadhan Pohan.
Ramadhan Pohan juga mengatakan, kecemasan yang dialami Marzuki Alie, teman satu partainya di Demokrat itu berlebihan. “Berlebihan itu kalau dia (Marzuki Alie) sampai khawatir seperti itu,” serunya.
“Rancangan ini akan disahkan di rapat paripurna DPR. Jadi, saran saya, DPR harus berkonsultasi lagi dengan asosiasi-asoisasi pers,” tutup Ramadhan.
Tidak lama setelah Ramadhan Pohan selesai berbicara, Bambang masuk ke dalam Ruang Pertemuan di Gedung Dewan Pers. “Draft ini sebagai bentuk semangat kebebasan pers,” ujarnya, membuka sesinya.
Bambang mencoba menjelaskan segala permasalahan yang sebelumnya dibicarakan oleh Priyambodo dan Ramadhan Pohan. “DPR dan bahkan wartawan sendiri khawatir dengan kehadiran wartawan ‘tidak jelas’ ini di DPR. Sehingga kebebasan pers tidak disalahgunakan,” imbuhnya.
Bambang menjawab tentang persoalan gaji wartawan yang tertulis di rancangan ini. “Wartawan harus mencantumkan pendapatannya utamanya sebagai wartawan. Ini untuk menghindari orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai wartawan di DPR,” jawabnya.
Bambang menjelaskan, di Inggris atau Amerika, mereka harus mencantumkan pendapatan mereka dari bekerja sebagai kuli tinta. Karena banyak kasus, orang-orang menyamar menjadi wartawan untuk maksud-maksud lain, seperti melobi-lobi anggota DPR. “Ini untuk meningkatkan kemerdekaan pers di parlemen,” tegasnya.
Agus Sudibyo, yang juga anggota dari Dewan Pers, mememberikan pendapatnya agar pembahasan rancangan ini harus menyertakan asosiasi-asosiasi pers di Indonesia. “Mereka harus ada. Agar setiap perwakilannya bisa turut bertanggung jawab dengan hasil dari rancangan ini,” ucapnya.
Dari DPR sendiri mengirim perwakilannya ke diskusi ini, yaitu, Biro Humas dan Pemberitaan DPR, Jaka Dwinarko. Jaka menjelaskan dari sisi anggota DPR melihat masalah ini.
“Anggota DPR merisaukan wartawan ‘tidak jelas’ ini. Mengganggu anggota DPR, ujung-ujungnya meminta uang kepada mereka,” ceritanya. Jaka juga menjelaskan kembali rancangan ini sudah mengikutsertakan Dewan Pers.
Agus Sudibyo menanggapi pernyataan dari Jaka tentang keterlibatan Dewan Pers. “Dari dulu, Dewan Pers hanya sebagai outsider.
Hanya memberi masukan tetapi, tidak tahu dikemanakan masukan kita. Untuk selanjutnya, Dewan Pers harus menjadi insider, agar ada keterlibatan langsung dengan rancangan peraturan ini,” katanya kepada Jaka.
Banyak wartawan-wartawan senior yang turut mengomentari rancangan ini. Pembicaraan sempat melebar sampai membicarakan etika berpakaian wartawan dan pengalaman lama para wartawan senior.
Ada juga fotografer DPR yang mengeluhkan beberapa pasal, karena akan mempersempit ruang fotografer mengambil gambar.
Diakhir diskusi, Sudibyo yang juga pengurus PWI menyatakan, “Kita, pers, tidak menolak tata tertib DPR ini. Jangan dijadikan seperti peraturan yang menakuti wartawan,” tutupnya.
Reporter: Rionaldo Herwendo & Fadhis Abby / Fotografer : Fadhis Abby
Editor : Frieska M.