Diamma.com – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada pembacaan putusan akhir gugatannya telah mengetok palu menolak gugatan, mengenai UU Perlindungan Pembantu Rumah tangga (PRT) yang diajukan oleh pihak penggugat.
Para penggugat yang berasal dari Komite Aksi Pekerja Rumah Tangga dan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) berencana untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi.
Hakim menyatakan bahwa, selama ini Pemerintah RI dan DPR sudah melakukan upaya yang maksimal untuk perlindungan PRT.
Restaria Fransisca Hutabarat, salah satu dari tim advokasi penguggat sangat menyayangkan, bahwa Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para penggugat.
Baik itu oleh program Legislasi Nasional, RAN HAM, dan Pengalaman PRT yang berada di dalam maupun luar negeri.
Penyebab minimnya perlindungan PRT di dalam negeri, disebabkan oleh tidak adanya sama sekali keadilan majelis hakim dalam memberikan keputusannya.
“Ini merupakan kemunduran dari proses pembuatan UU PRT,” cetusnya.
Restaria menganggap, bahwa pengadilan sebagai lembaga independen yang memilliki peran untuk mengontrol pemerintah dan DPR dalam pembuatan UU PRT.
“Seharusnya pengadilan memiliki kontrol dalam pembuatan UU PRT, namun sangat disayangkan kontrol itu tidak dilakukan dengan baik oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang merupakan bagian dari lembaga Yusdisial di Indonesia.
Kami merasakan kecewa, dan tentu saja akan melakukan banding selambat-lambatnya 14 hari untuk menurut pemerintah, dan DPR RI telah lalai menciptakan kebijakan buruh migran,” kata Restaria kepada diamma.com (07/12).
Pratiwi Febry yang juga anggota tim advokasi menambahkan. Pertama, pertimbangan Majelis Hakim tidak konsisten, terlihat dari dalam pertimbangannya. Majelis Hakim yang membenarkan bahwa perlindungan PRT itu memang dimuat dalam konvensi 1990.
Namun dalam pertimbangannya, Majelis Hakim tidak mengabulkan gugatan para penggugat untuk segera meratifikasi.
Kedua, Majelis Hakim sudah membetulkan bahwa pemerintah sedang menjalani proses baik draft perancangan UU PRT dan juga merevisi UU No 39 tahun 2004, namun dari tahun 2004 sampai saat ini belum terputus, itulah yang merupakan alasan kami mengapa mengajukan gugatan.
“Majelis Hakim sama sekali tidak imparsial dalam membuat keputusannya, dan setiap analisa hukum tidak berimbang. Tidak ada upaya menginginkan perlindungan yang komperhensif dari UU yang tidak mengikat tenaga kerja,” kata Pratiwi kepada.
Lita Anggraeni, selaku kordiantor JALA PRT menyayangkan keputusan hakim yang tidak melihat dari fakta-fakta sejak tahun 2004.
Sejak tahun 2004 belum ada satu pun hasil yang diberikan oleh pemerintah dan DPR RI mengenai proses pembuatan UU PRT.
Pemerintah dan DPR RI berjanji, akan meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarga, namun sampai sekarang belum diratifikasi.
Proses sidang ini sudah memakan hampir 10 bulan lamanya, sejak gugatan pertama dilayangkan pada bulan April tahun lalu.
Para tergugat sendiri terdiri dari Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Luar Negeri RI, Menteri Hukum dan Ham RI, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI , dan DPR RI.
Reporter : Fadhis Abby P. & Rionaldo H. / Fotografer : Fadhis Abby P.
Editor : Erwin Tri P.