Stres sensitif, perilaku agresif serta tidak ada dukungan dari orang terdekat adalah pemicu terjadinya tekanan batin atau trauma bagi korban bencana letusan gunung merapi.
Oleh Evelin, Rionaldo / Foto: Ilustrasi
Diamma – Trauma dapat terjadi apabila ada satu langkah perilaku yang harus dilakukan tanpa ada persiapan yang matang sehingga berdampak bagi dirinya sendiri. Contohnya dalam waktu belakangan ini, Indonesia sedang dilanda bencana alam khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu bencana mengenai meletusnya gunung merapi.
Bencana tersebut memakan banyak korban, diantaranya warga yang tinggal tidak jauh dari letusan gunung merapi dan tentunya menimbulkan duka yang mendalam serta trauma bagi keluarga yang ditinggalkan.
Menurut Hanafi Murtani, dosen yang juga mengajar mata kuliah psikologi, trauma tersebut dapat menimbulkan dampak psikologis, yaitu perilaku agresif, dimana perilaku tersebut memicu terjadinya penyimpangan tanpa memikirkan akibatnya. Bagi diri sendiri contohnya seseorang bisa melakukan hal nekat seperti bunuh diri atau pulang ke tempat asal, walaupun keadaan masih belum aman, itu menandakan perilaku tanpa memikirkan akibatnya. Perilaku tersebut dapat muncul sewaktu-waktu dan bagi orang lain juga dapat berdampak perilaku yang kasar.
Namun trauma tersebut masih dapat dikendalikan agar tidak menimbulkan tekanan yang berkepanjangan, misalkan korban bencana di sela-sela kesibukan diajak kegiatan ritual keagamaan, tentunya bermaksud agar batin menjadi tenang dan pasrah bahwa itu suatu bencana alam, atau “bisa juga dibawa ke psikiater dan tempat wisata alam,” ujar Sofyan mahasiswa Fikom 2008.