bahan kimia yang terdapat pada sebatang rokok

Oleh: Seno Setyo Pujonggo / Ilustrasi : Ilst

Diamma – “Ah, kalo udah waktunya mati mah mati aja,” mungkin kalimat tersebut sering kita dengar dan menjadi jawaban teman-teman kita yang perokok aktif, ketika diingatkan tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Dengan acuh dan tidak menghiraukan peringatan tentang bahaya rokok yang tertulis hampir setengah halaman dari setiap bungkus rokok yang dijual di pasaran.  Bahkan, sebagian besar dari mereka hafal himbauan yang tertulis pada tiap bungkus rokok tersebut. Ironis.

Menurut Mentri Kesehatan, Dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH., tingginya populasi dan konsumsi rokok Indonesia menduduki urutan ke-5 terbesar dunia pengkonsumsi rokok setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang dengan perkiraan konsumsi 220 milyar batang pada tahun 2005.

Tingginya angka perokok aktif di Indonesia ini pun membuat pemerintah melakukan berbagai macam cara. Usaha melalui jalur hukum pun telah diupayakan, mulai dari lingkup internasional, dengan memberikan dukungan dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) yang menghasilkan pengesahan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada Mei 2003, hingga lingkup nasional dengan keluarnya PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

Tak hanya itu, pemerintah mencoba untuk menggaet segenap komponen masyarakat untuk melindungi mereka dari bahaya rokok. Mulai dari public figure, artis hingga tokoh masyarakat dan ulama pun ikut diajak guna mensukseskan program ini. Namun, bagaimanakah dampak yang ditimbulkan oleh usaha hukum tersebut?

Lalu apa yang salah dengan fakta ini, khususnya yang terjadi di masyarakat Indonesia? Bila kita mencari akar permasalahannya, mungkin kita akan terjebak dalam “lingkaran setan” antara pemerintah yang setengah hati dalam menerapkan kebijakan tersebut atau kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya rokok, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Adanya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 terdapat larangan merokok di tempat umum seperti kantor pemerintah pusat dan daerah, swasta atau perorangan yang digunakan masyarakat seperti gedung perkantoran umum, tempat pelayanan umum (termasuk terminal, terminal bus transjakarta, bandara, stasiun, mal, pusat perbelanjaan dan pasar serba ada, hotel, restoran, dan sejenisnya). Selain itu, kawasan dilarang merokok juga berlaku di tempat ibadah, arena kegiatan anak seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak, arena bermain anak, atau sejenisnya. “Bagaimana masyarakat mau melapor kalau tidak ada petugas di lapangan. Kalau mau melapor, mereka harus ke mana? Mau menunggu sampai ketemu petugas? Keburu sopirnya selesai merokok”, pendapat dari salah satu penumpang bus tentang larangan merokok di tempat umum. Lalu, bagaimana jika pelanggaran tersebut terjadi di kantor pemerintah daerah (pemda), dengan pelakunya orang pemda sendiri?.

Peran Pemerintah

Budaya Indonesia masih kental dengan budaya paternalistik, dimana seorang tokoh dapat dijadikan panutan dan mempunyai peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Maka bila kita ingin membuat suatu gerakan atau langkah-langkah bersama, haruslah dimulai dari tokoh sentral yang dijadikan panutan tersebut. Dan bila kita melihat dari perspektif sebuah negara, maka peran sentral itu adalah pemerintah sebagai institusi yang mempunyai kewenangan untuk membuat aturan dan dapat menggunakan segala bentuk alat atau instrumen negara guna melaksanakan peraturan tersebut, seperti polisi, tentara, jaksa dan badan-badan terkait lainnya.

Maraknya iklan-iklan rokok di semua media massa yang dikemas secara kreatif, menghibur dan lucu menandakan kurangnya peran pemerintah dalam upaya mengurangi jumlah perokok aktif Indonesia. Belum lagi dengan sponsorship yang diberikan merk-mrek rokok ternama di semua sektor kehidupan, mulai dari sektor pendidikan hingga acara-acara kepemudaan dan olahraga yang notabene menjadi penerus generasi bangsa. Tentulah hal tersebut menjadi bertolak belakang dengan tugas negara dalam melindungi kelangsungan hidup warga negaranya.

Jargon-jargon yang dibentuk dari iklan yang dimuat di media massa menjadi bagian hidup anak muda sekarang. Ditambah “penyesatan” yang dilakukan para produsen rokok dengan mengeluarkan produk beristilah low, light, atau mild yang berakibat para perokok aktif terus mengkonsumsi rokok lebih banyak lagi. Karena, menganggap rokok yang ia konsumsi tidak mempunyai dampak yang berat dari kadar nikotin dan tar yang dinilai rendah. Tak sampai situ, produk rokok dengan berbagai macam rasa buah bak memenuhi kebutuhan akan rokok bagi kaum perempuan.

Untuk itulah dibutuhkan peran pemerintah (negara) yang tidak “setengah hati” dalam menjalankan kebijakan pengurangan jumlah perokok aktif di Indonesia. Bila alasan negara berangkat dari sisi keuangan dan perekonomian negara, seperti kaitannya dengan terbukanya lapangan pekerjaan, majunya petani tembakau, pemasukan uang ke kas negara dan lain-lain, maka sesungguhnya hal ini hanyalah bersifat jangka pendek.

Namun, bila kita melihat dari sisi kesehatan dan perspektif jangka panjang, maka sesungguhnya hal tersebut dapat menjadi bumerang bagi negara. Rokok membawa dampak yang sangat mengkhawatirkan, yaitu meningkatnya berbagai penyakit yang diderita perokok aktif maupun pasif. Akibatnya, dibutuhkan biaya pengobatan yang sangat besar, terutama bagi kaum miskin yang memiliki jumlah perokok aktif dalam jumlah besar dan menjadi tanggungan negara dalam upaya pemenuhan kesehatannya. Selain itu, hilangnya produktifitas khususnya dari kaum muda yang menjadi penerus bangsa karena penyakit akibat rokok yang dideritanya, akhirnya justru memberikan dampak negatif kepada perekonomian negara secara makro dan kesejahteraan masyarakat.

Mungkin, pemerintahan Indonesia dapat berkaca dari negara-negara lain yang mempertimbangkan akibat jangka panjang yang disebabkan oleh bahaya rokok ini. Seperti Yayasan Jantung Sehat Inggris yang membuat iklan anti rokok dengan tampilan sangat menjijikkan dan menggugah, sedangkan di Indonesia paling hebat hanya program senam dan jalan sehat yang hanya berorientasi pada objek “penderita”, namun bukan pada upaya “pencegahan”. Atau dari negara – negara lain yang membuat iklan yang tak kalah kreatif, menarik, dan lucu yang mendiskreditkan para perokok aktif.

Bila pemerintah, dari atas hingga bawah, serius untuk menjalankan kebijakan ini, maka tidak ada lagi alasan seperti yang diungkapkan di awal tulisan tadi ketika ditanya tentang rokok. Masyarakatpun tidak memandang sebelah mata terhadap peraturan yang dibuat dan akan patuh secara sukarela tanpa paksaan terhadap peraturan yang dibuat.